Jakarta - Hukum di Indonesia kembali tercoreng pasca penangkapan empat hakim yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap vonis lepas perkara korupsi ekspor clude palm oil (CPO) sebesar Rp 60 Miliar. Adapun tersangka yakni, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Keduanya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Djuyamto, seorang hakim dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Ini menandakan betapa rusaknya hukum di Indonesia. Hakim yang seharusnya menjadi corong bagi publik untuk keadilan, malah menerima suap ini menjadi catatan muram keadilan di Indonesia.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyentil kinerja Komisi Yudisial (KY) menyusul terungkapnya kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor CPO atau bahan baku minyak goreng periode 2021-2022. Empat hakim telah ditetapkan sebagai tersangka. “Ya, KY belum bekerja optimal dan kerja tidak substantif,” kritik Abdul Fickar.
Menurutnya, terlibatnya hakim dalam dugaan kasus korupsi seakan menunjukkan tidak terlibatnya kinerja lembaga negara pengawas hakim. Serta menambah muram lingkungan peradilan di Indonesia. “KY hanya bekerja rutin saja melengkapi kerusakan peradilan,” nilai Fickar.
Lebih parah efek kasus dugaan suap yang menyeret empat hakim tersebut meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Serta kemungkinan mengaitkannya sebagai tempat transaksional. “Dampak peristiwa ini menurunkan kepercayaan publik pada pengadilan dan orang menganggap di pengadilan itu urusan uang,” imbuh Fickar.
Menurutnya, selama ini wajar jika publik curiga pada hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dalam menangani perkara. "Boleh saja publik curiga, dan itu beralasan. Artinya semua keputusannya wajib dicurigai,"ujarnya.
Kecurigaan terhadap semua putusan itu ditekankan dia sangat beralasan. Sehingga wajar jika semua putusan yang telah diketok oleh hakim-hakim tersebut dicurigai tidak sepenuhnya untuk menegakkan keadilan.
Termasuk dalam hal ini putusan pada praperadilan atas penetapan tersangka Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dimana Djuyamto menjadi hakim tunggal dalam sidang praperadilan yang diajukan Hasto Kristiyanto. "Sangat mungkin semua putusannya 'berisi' suapan," tegasnya.
Di sisi lain, sistematis dan banyaknya yang terlibat dari unsur pimpinan sampai bawahan dalam kasus suap dan gratifikasi tersebut secara langsung menunjukkan wujud nyata adanya mafia peradilan. "Inilah wujud nyata mafia peradilan mutakhir dengan jumlah yang sangat mencengangkan para hakim mendapatkan 100 kali lipat dari penghasilannya," bebernya.
Karena itu pula, Abdul Fickar menyatakan pesimistis kejahatan para hakim tersebut dapat ditumpas. Sebab masalahnya adalah kejahatan mereka masuk kategori sistematis dan bersifat struktural. "Sulit membenahinya ini sudah bersifat struktural dari atas ke bawah. Kelakuannya seperti itu. Sudah mendarah daging bahwa setiap memutuskan harus ada suapnya," katanya.
Senada, Pengamat hukum, Prof. Henry Indraguna, menilai bahwa kasus ini sangat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Ia menyatakan bahwa peran seorang Ketua Pengadilan sangat penting untuk menjaga independensi, transparansi, dan keadilan dalam setiap proses persidangan. "Skandal ini sangat merugikan. Seharusnya, Ketua PN Jaksel mengatur pembagian tugas dengan bijak dan memastikan tidak ada intervensi yang merusak integritas proses peradilan," ujar Henry Indraguna.
Copyright © onPres. All Rights Reserved