Logo onPers

Peluang Rantai Nilai dan Produk Turunan Kelapa: Momentum Hilirisasi dan Kesejahteraan Petani

Rabu, 30 April 2025

Jakarta, 30 April 2025 — Kenaikan tajam harga kelapa bulat sejak awal 2024 sampai saat ini menjadi momentum penting bagi kebangkitan agribisnis kelapa nasional. Di sentra produksi seperti Indragiri Hilir, harga melonjak dari Rp3.250 menjadi Rp8.000 per kilogram. Namun, dampaknya tidak merata karena distribusi dan infrastruktur yang belum optimal.

“Pembuatan arang batok kelapa secara tradisional di Parigi, Tangerang Selatan, adalah contoh produk turunan bernilai tambah tinggi. Banyak yang diekspor sebagai briket untuk shisha atau barbeque,” kata Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian, saat dihubungi via telepon.

Menurutnya, kelapa bulat bukan satu-satunya produk bernilai dari kelapa. “Kelapa memiliki rantai nilai yang luas—dari minyak kelapa, VCO, cocopeat, hingga gula kelapa dan nata de coco. Sayangnya, potensi ini belum dimaksimalkan secara merata,” ujarnya.

Kuntoro juga menyoroti disparitas harga dari petani ke konsumen yang bisa mencapai tiga kali lipat. Di Jakarta, harga kelapa bisa mencapai Rp21.000 per kg, jauh di atas harga petani. Ia menilai perlu pembenahan sistem logistik dan distribusi nasional agar margin keuntungan tidak hanya dinikmati tengkulak atau pengepul besar.

“Distribusi dari wilayah timur ke barat belum efisien. Di beberapa daerah seperti Kepulauan Riau, industri santan lokal bahkan kekurangan bahan baku,” jelasnya.

Ia menekankan pentingnya hilirisasi dan industrialisasi berbasis produk turunan. “VCO, misalnya, bisa bernilai 11 kali lipat dibanding kelapa mentah. Inilah peluang emas bagi UMKM kita untuk naik kelas,” kata Kuntoro.

Indonesia saat ini menjadi produsen kelapa terbesar kedua di dunia setelah Filipina, dan menyumbang sekitar 58% ekspor kelapa dunia. Namun produktivitas nasional masih rendah, sekitar 1,1 ton per hektare per tahun, karena dominasi pohon tua dan minimnya peremajaan.

“Kita perlu mempercepat rehabilitasi kebun kelapa dan penggunaan bibit unggul. Tapi lebih dari itu, kita harus membangun kelembagaan petani, seperti koperasi, agar petani punya daya tawar lebih baik,” katanya.

Beberapa koperasi di Riau dan Sulawesi sudah mulai menjalin kontrak langsung dengan eksportir, memangkas rantai distribusi yang panjang. Kuntoro menilai langkah ini positif karena bisa mengurangi ketergantungan pada tengkulak.

Ia juga mendorong pengenaan pajak ekspor kelapa butiran sebagai insentif agar industri pengolahan dalam negeri lebih kompetitif. “Kita ingin ekspor yang berorientasi nilai tambah, bukan sekadar volume mentah,” ujarnya.

Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, Kuntoro menekankan perlunya dukungan riset terhadap varietas tahan kekeringan, irigasi sederhana, dan pengendalian hama terpadu.

“Kelapa bukan hanya soal hasil kebun, tapi juga strategi kedaulatan ekonomi rakyat. Bila dikelola serius dari hulu ke hilir, kelapa bisa menjadi tumpuan baru industri agro berbasis komunitas,” tegasnya.

Dengan berbagai potensi tersebut, ia berharap kelapa masuk dalam agenda misi dagang Indonesia di berbagai forum internasional, bersanding dengan sawit dan karet. “Sudah waktunya Indonesia tak hanya jadi produsen, tapi juga inovator dan pemimpin dunia dalam industri kelapa,” pungkas Kuntoro.