JAKARTA — Di tengah ketergantungan tinggi terhadap impor obat-obatan kimia, Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Perkebunan Kementerian Pertanian menekankan pentingnya pengembangan tanaman biofarmaka sebagai solusi jangka panjang bagi kemandirian kesehatan nasional dan peningkatan ekonomi petani.
Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kuntoro Boga Andri, menilai bahwa pandemi COVID-19 telah menjadi alarm penting bagi Indonesia untuk tidak lagi bergantung pada rantai pasok obat global yang rentan terganggu. Menurutnya, potensi kekayaan biodiversitas Indonesia—dengan lebih dari 9.600 spesies tanaman obat dan 22.000 ramuan tradisional—belum tergarap maksimal.
“Kita punya sumber daya alam dan warisan budaya luar biasa. Tapi tanpa strategi nasional yang konkret, kita akan terus tertinggal dari negara seperti Tiongkok, India, dan Brazil,” ujar Kuntoro via telepon, Jumat (3/5).
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor tanaman obat, aromatik, dan rempah-rempah Indonesia meningkat dari USD 222,88 juta (sekitar Rp3,66 triliun) pada 2012 menjadi USD 291,87 juta (sekitar Rp4,79 triliun) pada 2023. Meski menunjukkan tren positif, kontribusinya masih tergolong kecil dibanding potensi yang ada.
BRMP Perkebunan menyebut sejumlah varietas tanaman obat unggul hasil inovasi nasional telah memiliki daya saing global. Sebut saja, Nilam Patchoulina 1 dan 2 dengan kandungan patchouli alcohol di atas 30%, serta Kumis Kucing Orsina 1 Agribun, yang memiliki kandungan sinensetin tinggi untuk terapi batu ginjal. Tak ketinggalan, Jahe Merah Jahira dan Kunyit Curdonia, yang kaya senyawa aktif dan cocok untuk industri herbal modern.
Namun, kata Kuntoro, industri jamu dalam negeri masih bergantung pada bahan baku impor karena kualitas dan kontinuitas pasokan lokal belum stabil. “Petani kita terkendala akses pembiayaan, pengetahuan budidaya, dan skala produksi kecil. Ini harus segera diatasi,” tegasnya.
Ia mencontohkan produktivitas jahe nasional hanya 8–10 ton per hektare, jauh tertinggal dibanding India yang bisa mencapai 25 ton per hektare. Lebih ironis lagi, pelaku industri lebih memilih bahan baku impor karena lebih murah, meski kualitasnya belum tentu lebih baik.
Dorong Hilirisasi dan Model Kemitraan Inovatif
Kementan mendorong budidaya berbasis klaster dan integrasi dengan skema pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah. Pelatihan Good Agricultural Practices (GAP) juga dinilai penting untuk meningkatkan kualitas dan keberlanjutan produksi.
Kuntoro menyoroti keberhasilan Kabupaten Temanggung yang membina ribuan petani untuk beralih dari tembakau ke tanaman obat seperti purwoceng. “Dukungan akademisi dan pemerintah daerah menjadi kunci suksesnya,” ucapnya.
Di sektor hilir, Kuntoro menilai pembangunan pabrik ekstraksi di sentra produksi dapat melipatgandakan nilai jual. Ia mencontohkan, minyak nilam mentah yang hanya dihargai sekitar USD 15/kg bisa meningkat menjadi USD 500/kg jika diolah menjadi isolat patchouli alcohol.
Kuntoro juga mendorong model quadruple helix—kolaborasi antara petani, pemerintah, akademisi, dan industri—dalam bentuk klaster inovasi. “Akademisi bisa kembangkan benih unggul dan teknologi pascapanen, sementara industri menjamin pembelian dengan harga wajar,” ujarnya. Model ini, katanya, telah terbukti berhasil di India lewat skema Agri-Export Zones.
Standar, Paten, dan Diplomasi Herbal
Peningkatan daya saing global juga memerlukan percepatan standar mutu. Sejak semula, BRMP mendorong penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk tanaman obat, serta sertifikasi organik dan fair trade.
Selain itu, Kuntoro menekankan pentingnya diplomasi kesehatan untuk membuka akses pasar global. “Kita perlu aktif di jejaring internasional seperti International Alliance of Dietary/Food Supplement Associations (IADSA),” jelasnya.
Terkait aspek budaya, Kuntoro mengingatkan bahwa lebih dari 300 etnis Indonesia memiliki pengetahuan pengobatan tradisional yang berpotensi dipatenkan. Namun, data WIPO 2023 menunjukkan Indonesia baru memiliki 152 paten tanaman obat, tertinggal jauh dari Tiongkok yang mengantongi lebih dari 14.000 paten.
“Program dokumentasi dan perlindungan pengetahuan lokal harus segera diperluas agar tidak dirampas negara lain lewat praktik biopiracy,” kata Kuntoro.
Menjemput Pasar Global
Laporan dari For Insights Consultancy memperkirakan pasar global obat herbal organik akan tumbuh dari USD 14,8 miliar (Rp231,4 triliun) pada 2023 menjadi USD 24,5 miliar (Rp383,2 triliun) pada 2030, dengan laju pertumbuhan tahunan 9,8%.
Kuntoro menggarisbawahi bahwa Indonesia harus segera menyusun peta jalan nasional pengembangan tanaman obat yang terintegrasi dengan agenda Industri Hijau dan Sustainable Development Goals (SDGs). Ini termasuk investasi pada riset genomik tanaman, pelatihan herbalis bersertifikat, hingga integrasi pengobatan herbal dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Indonesia punya semua modal: biodiversitas, warisan budaya, dan SDM unggul. Kini tinggal keberanian politik dan konsistensi kebijakan untuk menjadikannya pilar kemandirian obat nasional,” pungkasnya.
Copyright © onPres. All Rights Reserved