Jakarta - Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo mengungkapkan bahwa karier politik di Indonesia itu tidak jelas dan tidak linier seperti negara-negara demokrasi lainnya.
“Kalau kita lihat karier politik Obama di Amerika Serikat, dia punya latar
belakang hukum. Jadi dia berusaha untuk mengadvokasi orang-orang kulit hitam
yang terdiskriminasi di Amerika. Memberi bantuan hukum dan akhirnya dia
kemudian terpilih jadi jaksa,” ujar Dosen Ilmu Komunikasi Unpad ini.
Menurut Kunto, karier politikus di negara demokrasi lainnya seperti Obama
di Amerika itu ditempuh dari mulai menjadi relawan politik lalu kemudian
bertahap naik. Sayangnya, hal itu tidak terjadi di dunia politik Indonesia.
“Kecuali kalau Anda jadi anaknya presiden, Anda bisa langsung jadi ketua
partai,” kata dia.
Kunto juga menjelaskan bahwa politik memiliki sifat free for all karena semua orang dari berbagai latar belakang
keilmuan bisa masuk. “Itu juga yang membuat adanya risiko pendangkalan
intelektual,” ujarnya.
Selain pendangkalan intelektual di dunia politik, dia juga menyebut ada
peran pemerintah sebagai penguasa untuk mendangkalkan para aktor intelektual
lain terutama di perguruan tinggi. Menurutnya, fenomena pendangkalan
intelektualitas di Indonesia mirip seperti yang terjadi di Cina.
“Pemerintah Cina setidaknya melakukan tiga hal untuk membuat
intelektualitas menjadi tumpul. Pertama, yakni dengan melakukan kontrol lewat mentorship politik terhadap mahasiswa,
dosen, dan peneliti,” katanya.
Kunto melanjutkan bahwa cara kedua adalah mahasiswa didorong untuk
melakukan pekerjaan sosial agar mahasiswa merasa lebih senang pada
kegiatan-kegiatan yang seolah-olah memberikan dampak nyata. Hal tersebut
menjadi salah satu faktor agar mahasiswa tidak melakukan diskusi karena hal itu
dapat membuat mahasiswa kritis dan berbahaya bagi kekuasaan.
“Selain itu, dengan hadirnya media sosial ada fenomena slacktivism. Seseorang sudah merasa terlibat dalam gerakan sosial
ketika dirinya hanya me-retweet tetapi tidak ada dampak langsung. Sebenarnya
tidak apa-apa tetapi harus sambil diajak ke arah yang lebih signifikan,”
katanya.
Sementara itu, hal ketiga yang dilakukan untuk menumpulkan intelektualitas
adalah dengan menggenjot universitas bertaraf World Class University. Menurut
Kunto, hal itu cukup familiar dengan keadaan intelektualitas di Indonesia saat
ini.
“Para dosen bahkan mahasiswa S3 kemudian disibukkan dengan berbagai macam
prosedur agar universitasnya bertaraf World Class University seperti harus melakukan
penelitian terindeks scopus dan dianggap satu-satunya indikator
intelektualitas,” kata Kunto.
Untuk mengubah kultur itu, Kunto menjelaskan perlu ada perubahan budaya
intelektual untuk mengajak para mahasiswa atau sesama pelaku intelektual berdiskusi
dan menciptakan diskursus yang mengganggu kekuasaan.
Senada, Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan,
Wajah politik Indonesia saat ini dinilai sedang tidak baik-baik saja alias
tercoreng karena tidak adanya integritas dari para pelaku politik di Tanah Air.
Selain itu, demokrasi di Indonesia juga dinilai dijalankan dengan setengah
hati di tengah hegemoni partai politik.
Dikatakan, wajah politik Indonesia saat ini tercoreng oleh demokrasi setengah hati yang dilakukan para elite, termasuk di lembaga peradilan atau hukum. "Hukum lebih tajam ke bawah tapi tumpul ke atas (elite). Ada tebang pilih secara horizontal. Begitu juga dalam keberpihakan aparatur negara, dalam banyak hal, termasuk seperti dalam konteks Pemilu kemarin," tegasnya.
Kondisi demokrasi di Indonesia yang sedang tidak baik ini juga pernah menjadi sorotan Forum Pemimpin Redaksi Indonesia (Forum Pemred).
Dalam pernyataan tertulisnya, Forum Pemred menyebutkan, kondisi politik
akhir-akhir ini yang kurang kondusif berpotensi menimbulkan goncangan dan
ketidakstabilan politik dan keamanan serta perekonomian nasiona
Copyright © onPres. All Rights Reserved