Logo onPers

KetidakJelasan Arah Politik di Indonesia

Jumat, 10 Januari 2025

Jakarta - Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo mengungkapkan bahwa karier politik di Indonesia itu tidak jelas dan tidak linier seperti negara-negara demokrasi lainnya.

 

“Kalau kita lihat karier politik Obama di Amerika Serikat, dia punya latar belakang hukum. Jadi dia berusaha untuk mengadvokasi orang-orang kulit hitam yang terdiskriminasi di Amerika. Memberi bantuan hukum dan akhirnya dia kemudian terpilih jadi jaksa,” ujar Dosen Ilmu Komunikasi Unpad ini.

 

Menurut Kunto, karier politikus di negara demokrasi lainnya seperti Obama di Amerika itu ditempuh dari mulai menjadi relawan politik lalu kemudian bertahap naik. Sayangnya, hal itu tidak terjadi di dunia politik Indonesia. “Kecuali kalau Anda jadi anaknya presiden, Anda bisa langsung jadi ketua partai,” kata dia.

 

Kunto juga menjelaskan bahwa politik memiliki sifat free for all karena semua orang dari berbagai latar belakang keilmuan bisa masuk. “Itu juga yang membuat adanya risiko pendangkalan intelektual,” ujarnya.

 

Selain pendangkalan intelektual di dunia politik, dia juga menyebut ada peran pemerintah sebagai penguasa untuk mendangkalkan para aktor intelektual lain terutama di perguruan tinggi. Menurutnya, fenomena pendangkalan intelektualitas di Indonesia mirip seperti yang terjadi di Cina.

 

“Pemerintah Cina setidaknya melakukan tiga hal untuk membuat intelektualitas menjadi tumpul. Pertama, yakni dengan melakukan kontrol lewat mentorship politik terhadap mahasiswa, dosen, dan peneliti,” katanya.

 

Kunto melanjutkan bahwa cara kedua adalah mahasiswa didorong untuk melakukan pekerjaan sosial agar mahasiswa merasa lebih senang pada kegiatan-kegiatan yang seolah-olah memberikan dampak nyata. Hal tersebut menjadi salah satu faktor agar mahasiswa tidak melakukan diskusi karena hal itu dapat membuat mahasiswa kritis dan berbahaya bagi kekuasaan.

 

“Selain itu, dengan hadirnya media sosial ada fenomena slacktivism. Seseorang sudah merasa terlibat dalam gerakan sosial ketika dirinya hanya me-retweet tetapi tidak ada dampak langsung. Sebenarnya tidak apa-apa tetapi harus sambil diajak ke arah yang lebih signifikan,” katanya.

 

Sementara itu, hal ketiga yang dilakukan untuk menumpulkan intelektualitas adalah dengan menggenjot universitas bertaraf World Class University. Menurut Kunto, hal itu cukup familiar dengan keadaan intelektualitas di Indonesia saat ini.

 

“Para dosen bahkan mahasiswa S3 kemudian disibukkan dengan berbagai macam prosedur agar universitasnya bertaraf World Class University seperti harus melakukan penelitian terindeks scopus dan dianggap satu-satunya indikator intelektualitas,” kata Kunto.

 

Untuk mengubah kultur itu, Kunto menjelaskan perlu ada perubahan budaya intelektual untuk mengajak para mahasiswa atau sesama pelaku intelektual berdiskusi dan menciptakan diskursus yang mengganggu kekuasaan.

 

Senada, Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan, Wajah politik Indonesia saat ini dinilai sedang tidak baik-baik saja alias tercoreng karena tidak adanya integritas dari para pelaku politik di Tanah Air.

 

Selain itu, demokrasi di Indonesia juga dinilai dijalankan dengan setengah hati di tengah hegemoni partai politik.

 

Dikatakan, wajah politik Indonesia saat ini tercoreng oleh demokrasi setengah hati yang dilakukan para elite, termasuk di lembaga peradilan atau hukum. "Hukum lebih tajam ke bawah tapi tumpul ke atas (elite). Ada tebang pilih secara horizontal. Begitu juga dalam keberpihakan aparatur negara, dalam banyak hal, termasuk seperti dalam konteks Pemilu kemarin," tegasnya.

 

Kondisi demokrasi di Indonesia yang sedang tidak baik ini juga pernah menjadi sorotan Forum Pemimpin Redaksi Indonesia (Forum Pemred).

Dalam pernyataan tertulisnya, Forum Pemred menyebutkan, kondisi politik akhir-akhir ini yang kurang kondusif berpotensi menimbulkan goncangan dan ketidakstabilan politik dan keamanan serta perekonomian nasiona