Jakarta - Baru saja Kejagung mengungkap Skandal Pertamax oplosan. Kini terbitlah kasus serupa yaitu minyak goreng oplosan 'Minyak Kita" yang lebih parahnya lagi bukan hanya dioplos takaran minyak kemasan ini juga disunat yang seharusnya berisi 1 Liter hanya 750 Mililiter. Kecurangan tidak hanya samai situ harga jualnya juga tidak sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah. Di kemasan tertera harga Rp15.700 per liter, namun di pasaran minyak ini dijual dengan harga Rp18.000 per liter.
Hal ini terungkap saat inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman ke Pasar Jaya Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Untuk itu, Menteri Amran mengancam akan menindak tegas para pelaku usaha yang terbukti melakukan kecurangan tersebut.
“Kita tidak boleh membiarkan praktik semacam ini terus terjadi. Pemerintah berkomitmen untuk melindungi kepentingan masyarakat. Saya sudah berkoordinasi dengan Kabareskrim dan Satgas Pangan. Jika terbukti ada pelanggaran, perusahaan ini harus ditutup dan izinnya dicabut. Tidak ada ruang bagi pelaku usaha yang sengaja mencari keuntungan dengan cara yang merugikan rakyat,” tegas Amran.
Ada tiga perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran ini yaitu PT Artha Eka Global Asia, Koperasi Produsen UMKM Koperasi Terpadu Nusantara (KTN), dan PT Tunasagro Indolestari.
Sementara itu, atas kasus yang muncul ini, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengungkapkan kemungkinan jika tidak ada koreksi kebijakan terkait harga minyak goreng rakyat atau MinyaKita.
Pertama, produsen menjual MinyaKita sesuai harga eceran tertinggi (HET) tetapi mengorbankan kualitas, menyunat dan mengurangi isi kemasan. Kedua, produsen tetap produksi MinyaKita sesuai kualitas dan tidak menyunat isi, tetapi menjual dengan harga di atas HET. "Keduanya berisiko dan melanggar aturan. Tapi kalau aturan yang ada tidak memungkinkan usaha eksis dan sustain tanpa melanggar aturan yang patut disalahkan pengusaha atau pembuat regulasi,” katanya.
Seiring hal itu, pemerintah dinilai perlu membuat kebijakan baru terkait dengan penetapan harga MinyaKita.Kebijakan saat ini amat tidak menguntungkan produsen. Menurut dia, pengelola kebun sawit, produsen MinyaKita, pedagang, dan konsumen adalah satu mata rantai tak terputus. "Ke depan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang tidak mendistorsi harga," kata Khudori.
Ia menuturkan, biaya pokok produksi sudah jauh melampaui harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp15.700. Harga bahan baku minyak goreng sawit, yakni crude palm oil (CPO), dalam negeri selama enam bulan terakhir tercatat sekitar Rp15.000-16.000 per kilogram.
Apabila angka konversi CPO ke minyak goreng 68,28 persen dan 1 liter setara 0,8 kilogram, diketahui untuk memproduksi MinyaKita seharga Rp15.700 per liter, maka harga CPO yang dibutuhkan kurang lebih Rp13.400 per kilogram. "Ini baru menghitung bahan baku CPO. Belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha. Kalau ketiga komponen itu diperhitungkan, sudah barang tentu harga CPO harus lebih rendah lagi," ujarnya.
Copyright © onPres. All Rights Reserved