Logo onPers

Pengesahaan UU TNI Awal Orba Reborn?

Jumat, 28 Maret 2025

Jakarta - Ketua DPR Puan Maharani akhirnya mengetuk palu pengesahan Revisi Undang Undang (UU) TNI dalam sidang paripurna yang digelar pada Kamis, 20 Maret 2025. Pasca putusan pengesahan ini pun menuai banyak pro dan kontra. Dan hingga saat ini demo atas aksi penolakan berlangsung dibeberapa daerah. Upaya penolakan ini pun menilai dengan disahkannya UU TNI akan mengembalikan ke zaman orde baru (Orba) atau Orba Reborn?.

Jubir Massa Aksi, Jaya yang mengatasnamakan Warga Sipil, Warga Surabaya, menyerukan menolak UU TNI. Mereka mengaku kepemerintahan kali ini jangan sampai kembali ke zaman Orba. "Kami memberi nama kami 'Warga Sipil, Warga Surabaya'. Kalian bisa panggil kami Front Anti Militer," katanya.

 "Saya yakin itu tidak hanya di Surabaya, tapi di seluruh Indonesia. Kami nggak mau kembali ke zaman orba," jelasnya.

Penolakan juga dilakukan oleh pegiat demokrasi anggota Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mereka menyebut lebih dari 2.500 prajurit aktif TNI telah menduduki jabatan sipil di Indonesia. Jika UU TNI jadi direvisi, jumlah tersebut akan bertambah dan berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI era Orde Baru, kata

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2025 setelah muncul Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.

Pemerintah menargetkan revisi beleid tersebut bisa selesai sebelum masa reses DPR RI atau sebelum libur Lebaran tahun ini. Adapun DPR akan memasuki masa reses mulai Jumat, 21 Maret 2025.

Revisi itu antara lain akan mengatur penambahan usia dinas keprajuritan serta memperluas keterlibatan militer aktif dalam jabatan-jabatan sipil.

Sejumlah organisasi hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkhawatirkan revisi tersebut akan mengacaukan tatanan demokrasi serta kembalinya militerisme dan Dwifungsi ABRI era Orde Baru yang menjadi trauma kolektif masyarakat Indonesia.

Sedangkan dari sisi akedmisi menilai  bahwa perubahan aturan ini tidak berpotensi menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI sebagaimana yang berkembang di opini publik belakangan ini. Ia menjelaskan bahwa perubahan aturan hanya memperjelas posisi TNI dalam perencanaan strategis di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan, sedangkan tugas operasional tetap menjadi ranah TNI. "Bahwa revisi UU TNI tidak dapat disamakan dengan praktik Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru. Ia menyebut dua perbedaan utama yang menjadi bukti bahwa UU TNI yang baru tidak berpotensi menghidupkan kembali Dwi Fungsi ABRI," ujar Dosen Fakultas Hukum Unismuh Makassar, Muhammad Ikhwan Rahman SH MH CPM.

Pertama, dari segi ranah tugas dan wewenang, pada masa Orde Baru, Dwi Fungsi ABRI menempatkan militer tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan, tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik yang berperan aktif dalam mengatur kebijakan pemerintahan hingga ke tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan, ABRI memiliki fraksi khusus di DPR tanpa melalui proses pemilihan, menjadikan mereka pemain politik yang dominan di berbagai lini pemerintahan.

Sebaliknya, dalam UU TNI yang baru, peran militer tetap fokus pada sektor pertahanan dan keamanan negara. Meski ada penambahan tugas dalam OMSP — seperti penanggulangan ancaman siber serta perlindungan warga negara dan kepentingan nasional di luar negeri — tugas ini tetap berkaitan langsung dengan fungsi pertahanan negara, bukan politik praktis atau pengaruh kebijakan publik yang luas.

Kedua, terkait keterbatasan jabatan di lembaga sipil, Ikhwan menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru, anggota ABRI dapat dengan leluasa menduduki berbagai posisi strategis di pemerintahan, termasuk posisi kepala daerah, menteri, hingga pejabat di birokrasi sipil. Praktik ini menciptakan dominasi militer di ruang politik. Sebaliknya, dalam revisi UU TNI yang baru, penempatan anggota TNI aktif di posisi kementerian/lembaga hanya diperbolehkan pada 14 instansi yang berhubungan langsung dengan sektor pertahanan, keamanan, dan penanggulangan bencana. Lembaga tersebut meliputi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.

Sementara itu, dari sisi pemerintah Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara menanggapi pengesahan revisi UU TNI oleh DPR. Adapun beleid yang menuai penolakan masyarakat itu disahkan DPPR dalam rapat paripurna Kamis, 20 Maret 2025.

Iftitah, yang merupakan lulusan terbaik Akademi Militer tahun 1999 dan memilih pensiun dini pada 2019, menilai pengesahan revisi UU TNI tidak untuk mengembalikan dwifungsi ABRI. Sebelumnya, dwifungsi ini terjadi saat Orde Baru atau di era pemerintahan Presiden Soeharto. “Saya menjamin revisi Undang-Undang TNI tidak untuk kembali ke Orde Baru,” kata Iftitah