Jakarta - Pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 5 persen saja seperti prediksi Bank Dunia. Namun semangat dan cita-cita Presiden Prabowo Subianto untuk pertumbuhan ekonomi bisa tembus 8 persen patut dihargai.
Hal itu ditegaskan Ekonom Senior yang juga Rektor Universitas
Paramadina Didik J. Rachbini, Diskusi Publik INDEF - Paramadina yang mengangkat
tema “Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi" secara
daring Rabu, (22/1).
Menurutnya, isi Asta Cita 1-8 pada pemerintahan Presiden Prabowo terbanyak
berkaitan dengan isu ekonomi. Negara Vietnam berhasil tumbuh perekonomiannya
7-8 persen karena ekspornya telah jauh melampaui Indonesia. Yakni USD405 miliar
per tahun. Sementara Indonesia yang 20 tahun lalu sebenarnya telah mencapai
USD200 miliar per tahun, namun sekarang stuck di USD250 miliar per tahun, atau
kurang dari itu. Hal itu lebih tergantung pada situasi ekonomi internasional.
"Indonesia tidak akan
pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen sampai 2029 tanpa penguatan
ekonomi melalui industri. Tragisnya selama 10 tahun terakhir sektor industri di
bawah para penanggungjawab yang sama pada kabinet ini, hanya tumbuh 3-4 persen
saja," ujarnya.
Sementara sektor industri Vietnam bisa tumbuh 9-10 persen. Pada saat
yang sama ekspornya bisa tumbuh 14-15 persen. Kondisi itu sama persis dengan
Indonesia pada 1985 ekonomi tumbuh tujuh persen, sektor industri tumbuh 9-10
persen, ekspornya tumbuh 20 persen.
Oleh karena itu untuk bisa menumbuhkan kembali kinerja sektor industri
maka elemen-elemen birokrasi ikuti saja Asta Cita yang ke 3. Zaman Pak Harto,
separuh dari birokrasi Departemen Keuangan pernah dirumahkan. Kegiatan ekspor
diserahkan ke SGS. Akibatnya, kegiatan ekspor ketika itu melaju kencang. Semua
diplomat juga diberikan target agar neraca perdagangan harus surplus.
"Kita optimistis saja sebagaimana Vietnam yang tengah melaju
kencang perekonomiannya. Kinerja investasi di Indonesia menjadi merosot, karena
investasi banyak bergeser ke Vietnam. Persis sama dengan 1985 ketika ekonomi
Filipina buruk sekali pada era Marcos. Begitu buruknya hingga investasi di
Filipina banyak yang bergeser ke Indonesia," tambah dia.
Jadi, kata Didik, tanpa investasi dari luar negeri, ekonomi tidak
mungkin tumbuh. Diperlukan 3-4 kali lipat dari Rp1.400 triliun untuk sampai
pada pertumbuhan 6-7 persen.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri,
menambahkan, 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo belum ada arahan kebijakan
yang jelas, selain retorika yang masif. Belum terlihat ke mana arah dari
program-program yang telah digariskan. Plus adanya kekurangan dalam koordinasi
dan kebijakan yang kurang koheren.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah belum adanya RPJMN serta belum
diresmikan/publish. Padahal pada 2015 Jokowi awal Januari 2015 RPJMN sudah
dipublish kepada masyarakat. "Pentingnya kejelasan arah kebijakan
pemerintahan menjadi hal penting yang ditunggu-tunggu oleh kalangan ekonom,
pengusaha/pebisnis, akademisi perguruan tinggi dll. Apalagi Astacita banyak hal
hal yang terkait dengan perekonomian," ujar dia.
Memang disadari, ada berbagai macam masalah yang merupakan warisan
pemerintahan sebelumnya, seperti high
cost economy, regulatory uncertainty, stagnant growth 10 thn, climate change,
digital dll yang pasti akan berpengaruh pada pemerintahan sekarang. Belum lagi
menghadapi pelantikan presiden USA Trump, yang pasti banyak membawa dampak
internasional.
Sementara itu, Ekonom INDEF, Eisha M Rachbini, menyebut Untuk dapat
mencapai target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen di era Prabowo, butuh strategi
dan key sector atau pengungkit dengan
pendekatan berbeda disesuaikan perkembangan zaman.
"Dengan perkembangan teknologi digital yang sangat cepat,
dibutuhkan pengungkit yang lain, seperti hilirisasi industri, peningkatan
sektor pariwisata, dan sektor teknologi dan ekonomi digital. Digitalisasi dari
seluruh sektor ekonomi," tandasnya.
Copyright © onPres. All Rights Reserved