Logo onPers

Indonesia Diproyeksikan Sulit Dongkrak Ekonomi Tinggi

Rabu, 22 Januari 2025


Jakarta - Pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 5 persen saja seperti prediksi Bank Dunia. Namun semangat dan cita-cita Presiden Prabowo Subianto untuk pertumbuhan ekonomi bisa tembus 8 persen patut dihargai.

 

Hal itu ditegaskan Ekonom Senior yang juga Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini, Diskusi Publik INDEF - Paramadina yang mengangkat tema “Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi" secara daring Rabu, (22/1).

 

Menurutnya, isi Asta Cita 1-8 pada pemerintahan Presiden Prabowo terbanyak berkaitan dengan isu ekonomi. Negara Vietnam berhasil tumbuh perekonomiannya 7-8 persen karena ekspornya telah jauh melampaui Indonesia. Yakni USD405 miliar per tahun. Sementara Indonesia yang 20 tahun lalu sebenarnya telah mencapai USD200 miliar per tahun, namun sekarang stuck di USD250 miliar per tahun, atau kurang dari itu. Hal itu lebih tergantung pada situasi ekonomi internasional.

 

 "Indonesia tidak akan pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen sampai 2029 tanpa penguatan ekonomi melalui industri. Tragisnya selama 10 tahun terakhir sektor industri di bawah para penanggungjawab yang sama pada kabinet ini, hanya tumbuh 3-4 persen saja," ujarnya.

 

Sementara sektor industri Vietnam bisa tumbuh 9-10 persen. Pada saat yang sama ekspornya bisa tumbuh 14-15 persen. Kondisi itu sama persis dengan Indonesia pada 1985 ekonomi tumbuh tujuh persen, sektor industri tumbuh 9-10 persen, ekspornya tumbuh 20 persen.

 

Oleh karena itu untuk bisa menumbuhkan kembali kinerja sektor industri maka elemen-elemen birokrasi ikuti saja Asta Cita yang ke 3. Zaman Pak Harto, separuh dari birokrasi Departemen Keuangan pernah dirumahkan. Kegiatan ekspor diserahkan ke SGS. Akibatnya, kegiatan ekspor ketika itu melaju kencang. Semua diplomat juga diberikan target agar neraca perdagangan harus surplus.

 

"Kita optimistis saja sebagaimana Vietnam yang tengah melaju kencang perekonomiannya. Kinerja investasi di Indonesia menjadi merosot, karena investasi banyak bergeser ke Vietnam. Persis sama dengan 1985 ketika ekonomi Filipina buruk sekali pada era Marcos. Begitu buruknya hingga investasi di Filipina banyak yang bergeser ke Indonesia," tambah dia.

 

Jadi, kata Didik, tanpa investasi dari luar negeri, ekonomi tidak mungkin tumbuh. Diperlukan 3-4 kali lipat dari Rp1.400 triliun untuk sampai pada pertumbuhan 6-7 persen.

 

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri, menambahkan, 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo belum ada arahan kebijakan yang jelas, selain retorika yang masif. Belum terlihat ke mana arah dari program-program yang telah digariskan. Plus adanya kekurangan dalam koordinasi dan kebijakan yang kurang koheren.

 

Hal lain yang patut diperhatikan adalah belum adanya RPJMN serta belum diresmikan/publish. Padahal pada 2015 Jokowi awal Januari 2015 RPJMN sudah dipublish kepada masyarakat. "Pentingnya kejelasan arah kebijakan pemerintahan menjadi hal penting yang ditunggu-tunggu oleh kalangan ekonom, pengusaha/pebisnis, akademisi perguruan tinggi dll. Apalagi Astacita banyak hal hal yang terkait dengan perekonomian," ujar dia.

 

Memang disadari, ada berbagai macam masalah yang merupakan warisan pemerintahan sebelumnya, seperti high cost economy, regulatory uncertainty, stagnant growth 10 thn, climate change, digital dll yang pasti akan berpengaruh pada pemerintahan sekarang. Belum lagi menghadapi pelantikan presiden USA Trump, yang pasti banyak membawa dampak internasional.

 

Sementara itu, Ekonom INDEF, Eisha M Rachbini, menyebut Untuk dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen di era Prabowo, butuh strategi dan key sector atau pengungkit dengan pendekatan berbeda disesuaikan perkembangan zaman.

 

"Dengan perkembangan teknologi digital yang sangat cepat, dibutuhkan pengungkit yang lain, seperti hilirisasi industri, peningkatan sektor pariwisata, dan sektor teknologi dan ekonomi digital. Digitalisasi dari seluruh sektor ekonomi," tandasnya.