Logo onPers

Pemerintah Diminta Permudah Regulasi Industri Kayu Nasional

Selasa, 09 September 2025


Jakarta - Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) menggelar diskusi publik bertajuk “Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi” di Jakarta, Senin (8/9). Sejumlah pakar kehutanan dan ekonomi hadir untuk membedah problematika sektor kayu nasional, mulai dari regulasi, investasi, hingga persoalan deforestasi.

 

Prof. Sudarsono Sudomo, pakar kehutanan dari IPB, menilai regulasi di sektor kayu cenderung menimbulkan beban biaya dibanding manfaat nyata, khususnya bagi pelaku di lapangan. Ia mencontohkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang menurutnya tidak memberikan dampak signifikan bagi petani. “Setiap aturan hampir pasti menimbulkan cost. Kalau manfaatnya lebih besar dari beban, tentu bisa diterima. Tapi dalam kenyataannya, aturan seringkali lebih mahal daripada manfaatnya. Rata-rata petani hanya mengurus SVLK kalau ada yang membantu, bahkan banyak yang tidak tahu di mana sertifikatnya,” ujar Sudarsono.

 

Ia juga menegaskan bahwa pengusahaan hutan alam bukan penyebab utama deforestasi. Menurutnya, deforestasi lebih sering terkait alih fungsi lahan untuk tujuan lain. “Hutan alam itu renewable secara biologis, tapi belum tentu secara finansial. Kalau dikelola, hutan bisa pulih. Masalahnya ada pada insentif ekonomi dan investasi yang sangat kecil dibanding sektor perkebunan atau perikanan,” tambahnya.

 

Data yang dipaparkan menunjukkan tren penurunan tajam. Sejak 1990 hingga 2023, jumlah perusahaan, luas areal, dan produksi kayu terus merosot. Dari sekitar 600 unit usaha di hutan alam, kini hanya tersisa 250-an perusahaan aktif. Investasi di sektor kehutanan pun sangat kecil, jauh di bawah sektor perkebunan maupun perikanan. “Tanpa investasi, industri kehutanan akan berhenti. Saat ini investasi PMDN di sektor ini sangat rendah, hanya menghasilkan sekitar 1.500 tenaga kerja per Rp1 triliun. Padahal investasi penting untuk menjaga keberlanjutan kapital,” tegas Sudarsono.

 

“Jika hutan bisa memberi kesejahteraan, maka hutan itu akan dilestarikan. Yang kita butuhkan adalah aturan yang tepat guna, bukan aturan yang justru mematikan industri,” tambahnya.

 

Dalam kesempatan yang sama, pengamat kehutanan Petrus Gunarso, Ph.D. menyoroti persoalan ketelusuran kayu (traceability) yang kerap disorot LSM internasional. Menurutnya, isu deforestasi sering kali dipahami berbeda. “Kalau dari hutan alam menjadi hutan tanaman, apakah itu deforestasi? Bagi WWF, iya. Padahal secara produksi, hutan tanaman justru bisa lebih cepat tumbuh, misalnya eukaliptus yang dalam enam tahun sudah bisa dipanen,” jelasnya.

 

Petrus juga mengkritisi pemberitaan internasional yang dianggap membesar-besarkan persoalan kayu asal Indonesia. “Yang diekspor ke Amerika kebanyakan justru kayu sisa (IPK) dari land clearing HTI. Itu legal, tapi dibingkai seolah-olah pembalakan liar besar-besaran,” katanya.

 

Dari sisi ekonomi, Pengamat Ekonomi Celios (Center of Economic and Law Studies) Nailul Huda menyampaikan bahwa sektor kehutanan dan kayu kini masuk kategori industri sunset. Kontribusinya terhadap PDB turun dari 0,7 persen menjadi hanya 0,36 persen. “Kontribusi investasi domestik di sektor kehutanan hanya sekitar 1 persen, sementara asing hanya 0,02 persen. Ini menunjukkan rendahnya minat investasi. Padahal kalau dikelola optimal, sektor kayu bisa jadi pengungkit ekonomi,” ungkap Huda.

 

Huda menambahkan bahwa meskipun produksi kayu tumbuh, industri pengolahan seperti gergajian dan kayu lapis justru menurun. Kinerja ekspor pun melemah dalam empat tahun terakhir, meski sempat naik dalam satu dekade terakhir.


Diskusi ini menegaskan perlunya reformasi regulasi, peningkatan investasi, serta strategi baru dalam menjaga keberlanjutan hutan. Para narasumber sepakat bahwa kebijakan yang ada saat ini lebih banyak melayani kebutuhan birokrasi dibanding kepentingan bisnis dan kesejahteraan masyarakat.